Kamis, 10 Maret 2011

you and me part 3

“Ok, aku pulang ya! Makasih buat undangannya dan maaf udah ngerepotin semaleman ampe tadi.” ucap Ara sembari mengangguk kecil pada beberapa orang di ruangan itu.
Beberapa dari mereka tersenyum, “Gak apa-apa. Jangan bosan main ke sini.” ujar salah seorang dari mereka.
Ara melenggangkan kakinya menuju pintu utama Radio Starbuzz FM. Setelah menutup telepon dari Dewa semalam, ia melesat ke stasiun Radio Starbuzz FM karena ada interview. Sebenarnya wawancara tersebut hanya memakan waktu kurang lebih setengah jam, tapi tumpukan surat penggemar di sudut meja salah satu rekannya di radio tersebut memaksanya untuk cepat-cepat membalas surat mereka satu per satu.
Lelah, pasti. Namun, Ara begitu beruntung karena beberapa kenalannya di sana membantunya. Dan pukul 07:30 tadi, acara balas-membalas surat itu telah tunai dikerjakan.
“Ara!” teriak seseorang dari balik punggung Ara ketika menuruni anak tangga terakhir.
Ara menengok dan mendapati seorang gadis berwajah oriental tergopoh-gopoh menghampirinya, “Rena! Apa kabar?” katanya sumringah sembari membentangkan kedua tangannya menyambut pelukan hangat dari sahabat lamanya itu.
“Ah, gak usah pake peluk-pelukan segala deh. Baru juga minggu lalu terakhir kita ketemu, kan sering banget lu ke sini.” Ara masam melihat respon temannya itu, “Sekarang lu mau kemana?”
Ara memandang Rena bingung, “Kemana? Pulanglah. Dari malem gue belom pulang dan sekarang tugas gue udah selesai, waktunya pulang dong. Mau ngapain lagi?”
Kontan Rena menoyor kepala Ara gemas, “Lu cari mati ya?”
“Cari mati apaan sih? Gak ngerti, gue kan cuma mau pulang. Emang gak boleh?” jawab Ara dengan tangan mengusap kepalanya.
“Dengerin gue, di luar ada beberapa wartawan lokal dan satu wartawan nasional – “
“Terus?” Ara masih tak mengerti maksud Rena karena seingatnya ia tak punya janji dengan wartawan hari ini.
“Juga ada fans-fans East Sea,”
“Lah urusannya sama gue apa?”
“Mereka semua nyariin lu.”
Mata Ara membelalak tak percaya, “Nyari gue? Ngapain?”
Rena tak langsung menjawab, raut wajahnya agak takut melontarkan satu kalimat kemudian, “Lu putus sama Dewa?”
“Putus? Sejak kapan? Engga. Siapa yang bikin gosip begitu?”
Rena menarik Ara agak ke sudut ruangan, “Gue denger-denger sih ya, kemaren ada cewek yang liat lu sama Dewa berantem deket halte,” Rena menarik nafas sebentar lalu melanjutkan ceritanya, “dan cewek itu bilang kalo lu mencampakkan Dewa. Liat hasilnya sekarang, dunia geger dengan kabar itu. Fans East Sea, terutama fans-nya Dewa ngerasa gak terima idolanya ditinggalin gitu aja, secara mereka aja kepengen jadi pacarnya gak bisa tapi lu yang jadi pacarnya malah ninggalin Dewa.”
Ara diam, ia masih mencerna kata-kata Rena barusan.
“Lu tuh ya, berantem mulu sih kerjaannya. Gini kan jadinya, tenar ampe jadi trending topic.” Ara yang mendengarkan hanya bisa memandang tak percaya, “Ok deh itu emang udah jadi hobi lu berdua, tapi inget kalo berantem harus tahu sikon. Lu berdua tuh lagi naik daun, ada kabar aneh dikit aja bisa ngerusak citra lu sama Dewa, Ra. Heh, denger gue ngomong gak sih lu?” ujar Rena sembari mengguncang bahu Ara.
“Gue harus gimana sekarang?” Suara Ara terdengar shock.
“Ya lu harus klarifikasilah. Tapi gue bingung ya, fans-fans cowok lu itu kok lebay banget ampe lu ‘putus’ aja heboh banget. Ngg, tapi yang pasti lu gak bisa pulang lewat pintu utama karena lu udah dijegat sama mereka dari subuh tadi. Kalo lu nekat mau pulang, lewat pintu belakang aja. Tapi gue gak jamin lu bakal selamat dari berondongan pertanyaan.”
Ara merogoh tas dan mengeluarkan kacamata bacanya, memakainya. Ia pun menggerai rambutnya yang panjang dan memakai kardigan putih gading yang sedari tadi disandarkan di lengannya.
“Gimana? Cukup tersamar gak?”
Rena memutar bola matanya, “Ya enggalah.”
PLUK!
Sebuah topi berwarna hijau lumut mendarat di kepala Ara.
“Pake ini,” ucap seorang laki-laki yang mendadak datang dari balik punggung Ara.
“Tito!” Ara tersenyum lebar melihat laki-laki bernama Tito itu, “Makasih ya, lu emang penyelamat gue.”
Tito tersenyum sembari menepuk kepala Ara, “Jangan seneng dulu. Gue cuma kasih pinjem. Ngerti?” Tito membelalakkan matanya.
Ara menyipitkan matanya, “Ah yayaya. Pinjem. Tapi makasih ya.”
“Yaudah sana pulang. Oh ya, ceritain tuh ke Dewa apa yang terjadi, gue jamin dia belum tahu tentang ini.” ujar Rena mengingatkan.
“Iya iya, gue balik ya. Dah.” Ara mulai melangkahkan kakinya menuju pintu belakang yang jarang dilewati orang.
Cepat-cepat Ara menuju halte terdekat dengan jalan menunduk, takut ada yang menyadarinya. Ia memasuki bis dan memilih duduk di bangku paling belakang. Selang sejam kemudian, ia sampai di halte yang ia tuju. Ara bergegas menuju bangunan tiga tingkat yang terkesan minimalis di ujung blok.
Ia naik ke lantai dua dan mengetuk pintunya dengan gusar.
“Heh, bangun lu, tidur aja! Buka tuh pintu.” teriak seorang laki-laki bersuara bass dari arah dalam.
“Iya, cepetan bangun. Udah siang juga. Rejeki lu dipatok ayam tahu rasa lu.” timpa suara lain.
Ara mengetuk pintu itu lagi, lebih keras.
“Aww! Yayaya, gue bangun. Rese ah lu pada.” Suara langkah kaki mendekati pintu setelah suara benda tumpul menghantam sesuatu tadi.
Laki-laki itu membuka pintu dengan sebelah tangannya, sebelah tangannya lagi sibuk menggosok kepalanya yang terasa nyeri.
Laki-laki itu mengerjapkan matanya sebentar melihat seorang gadis dengan setelan kaus putih bercorak dan rok, kardigan, kacamata, dan topi di hadapannya sembari memegang tali tas.
Tiba-tiba mata laki-laki itu membulat setelah kesadarannya sudah terpenuhi, “Ara! Kamu ngapain pagi-pagi ke sini?”
Ara mendesah, “Boleh aku jelasin di dalem? Cape nih.”
Ara duduk di sofa empuk berwarna merah sembari melepas topinya, “Haaaah capeeee.”
“Udah lama gak ketemu lu, makin cantik aja lu, Ra.” ujar Dimas sembari duduk di depan Ara.
Ara tersenyum, “Makasih, Mas Dim.”
“Ra, ngapain kamu ke sini pagi-pagi?” Dewa datang dengan membawa segelas teh beraroma chamomile untuk kekasihnya.
“Jadi aku gak boleh ke sini gitu?”
“Serius, Sayang. Ada apa?” Dewa duduk di samping Ara mencium aroma shampoo dari rambut panjangnya.
Ara menyeruput tehnya sebentar lalu meletakkannya di meja oval di depannya, “Sebenernya aku ke sini mau – “
“HAH?” teriak laki-laki bersuara bass yang sedari tadi sibuk membaca tabloid, Gilang.
“Ih, apaan sih lu, Lang. Bikin kaget aja tahu gak. Lagi serius nih dengerin si Ara cerita. Kayaknya ada berita penting.” Dimas berkomat-kamit.
“Ini jauh lebih penting dari berita apapun!”
“Berita apaan, Kak?” tanya Ara.
“Berita tentang kalian berdua.”
“APA?!” kaget Dewa. Ia beranjak dari tempat duduknya dan menghampiri Gilang.
“Diem dulu, biar gue yang bacain.” kata Gilang setelah Dewa hampir merebut tabloid itu dari tangannya.
“Di sini dibilangin kalo kalian berdua kemaren terlibat pertengkaran hebat di deket halte dan berakhir dengan keputusan bahwa kalian putus,” Dewa tercengang dan pandangannya beralih pada Ara, Ara mengangguk, “dan yang bikin parah, fans-fans lu tuh, De, pada ngamuk ke si Ara kenapa ampe mutusin lu.”
Mata Dewa meminta penjelasan dari mulut kekasihnya.
“Itu yang bikin aku dateng pagi-pagi ke sini, De. Tadi pagi aku dijegat beberapa wartawan dan fans-fans kamu di stasiun radio. Mereka nunggu aku keluar dari subuh, De. Dan di bawah, aku liat beberapa orang yang bawa kamera. Kayaknya mereka wartawan juga tapi mereka nunggu kamu keluar.”
“Pinter banget kalian bikin gosip murahan kayak gitu?” suara Dimas terdengar galak.
“Aduh, Mas. Ini gak kayak yang lu pikir, ini cuma salah paham, Mas. Kita berdua baik-baik aja.”
Ara mengangguk, menyetujui apa yang dilontarkan Dewa.
Dimas menghela nafas panjang, “Ok, sekarang kalian bakal ngelakuin apa?” Dimas melunak.
“Kalo kata Rena sih, aku sama Dewa harus klarifikasi, Mas Dim.”
“Ngg, klarifikasi? Gak berlebihan tuh?” ucap Gilang yang sudah melipat tabloidnya.
“ITU SANGAT BERLEBIHAN.” tekan Dewa di setiap katanya, “Kita gak usah klarifikasi apa-apa. Biar mereka ngeliat sendiri aja gimana kita tanpa kita ngejelasinnya.”
Semuanya diam, berpikir.
“Ok, gitu aja. Daripada ditanya macem-macem ngalor-ngidul kemana-mana malah gak kelar masalahnya mending diemin aja.” kata Gilang mencoba diplomatis.
Dimas mengangguk setuju, “Lu gimana, Ra? Setuju?”
“Ngg, deal. Berarti harus siap dikuntit wartawan dan fans-fans kalian ya.” Ara menyandarkan tubuhnya.
“Bagus,” ucap Dewa yang sudah duduk di depan layar komputer, bersiap dengan game.
“Eh, Ra. Coba kamu lepas kacamata kamu deh. Kamu pake kacamata kayak kutu buku banget.” kata Dewa tanpa melepas pandangannya dari layar.
“Aku kan emang kutu buku, weeekk.” Ara menjulurkan lidahnya.
“Kamu bukan kutu buku tahu, tapi kutu rambut.”
Mata Ara kembali berkobar, “Ya, Dewa!” Ara melempar bantal sofa hingga tepat mengenai kepala Dewa, “Awas ya kamu!”
Dewa menoleh dengan tatapan ganas seolah siap membinasakan satu-satunya makhluk yang mencintainya, “Kamu yang awas, Ikan puffy-ku!” Dewa bergegas menghampiri Ara dan mengelitik perutnya.
“Dewa! Kamu mau aku makin kurus ya?!”
“Arrghh! Hei, sakit! Lepas.” Dewa merasa rambutnya rontok satu per satu atas cengkraman tak berprikemanusiaan Ara.
“Kamu duluan berenti ngelikitik aku!” ujar Ara yang tak berhenti menjambak rambut Dewa sembari berguling-guling di sofa mencoba melepaskan diri dari kelikitikan Dewa.
“Kamu dulu!”
“Kamu!”
“KAMU DULU, IKAN ASIN BABO!”
Gilang dan Dimas yang melihat tingkah mereka berdua seperti anak TK sedang bertengkar hanya menggeleng-gelengkan kepala sambil berdecak bingung.
***

you and me part 2

Sore ini Ara sudah siap dengan kemeja, jeans, dan sneakers-nya. Sekali lagi ia mematut dirinya di cermin, menyisir poni dengan jemarinya. Kepalanya digoyang-goyangkan, memberi efek kuncir kudanya ikut bergerak. Ia tersenyum melihat invers wajahnya, aku tidak terlalu buruk tampil boyish seperti ini.
Ia meraih tas selempang coklatnya dan melesat keluar rumah setelah berpamitan pada ibunya yang sedang menonton televisi.
Ara sampai di dekat halte pukul 15.35. Ia duduk di kursi putih di bawah pohon maple, tempat mereka biasa janjian bila akan pergi ke suatu tempat. Ia mulai mengeluarkan sebuah buku dari tasnya. Ia selalu membawa sebuah buku jika pergi kemanapun untuk menghindari kebosanan.
Buku bersampul jingga dan merah, bertitel “Padang Bulan” itu baru dibelinya beberapa hari yang lalu dan ia tak sempat membacanya karena kesibukannya meladeni acara bedah buku dan dua wawancara dadakan.
Sudah lima puluh dua halaman yang ia baca tapi Dewa belum tampak. Ara melihat jam di pergelangan tangan kirinya. Tak seperti biasanya Dewa terlambat seperti ini. Tapi Ara tak sedikitpun berniat untuk menghubungi Dewa, mereka tak terbiasa melakukan hal itu ketika hari kencan mereka.
Dua jam terlewati begitu saja. Kemana Dewa? Ara meraih ponsel di dalam tasnya, menekan-nekan keypad dengan cepat.
To: IkanAsinBabo
Aku udah bulukan nunggu kamu dua jam -.-

Ara menggigit bibirnya, resah menunggu balasan dari Dewa. Ponselnya bergetar.
From: IkanAsinBabo
Dua jam? Aduh Ra, aku lupa punya janji sama kamu. Kamu dimana sekarang?

Apa? LUPA?? Ara menggeram, keningnya berkerut dan matanya berkilat. “LUPA” minta dibakar sama gue! Arrghh!! Ara menarik nafasnya pelan, jarinya mengetikkan sesuatu cepat.
To: IkanAsinBabo
Aku di halte.

From: IkanAsinBabo
Yaudah, aku ke sana ya. Jangan marah ya, Ra.

Marah? Marah gak ya? Kalo marah, terus kalo Dewa udah datang gue langsung pergi gitu biar nandain gue marah? Cape-cape dong gue nunggu dua jam.
To: IkanAsinBabo
Aku gak marah.

Kurang lebih satu jam kemudian, Dewa datang. Langsung duduk sambil tersenyum-minta-digebukin. Ara hanya menunduk sambil menggembungkan pipinya. Jemarinya memutih di balik lembaran kertas yang ia pegang.
“Kamu tahu? Aku udah baca setengah buku ini gara-gara lama nunggu kamu.” Ara tak melepas pandangannya dari buku yang sejujurnya sudah ia tak baca sejak kedatangan Dewa.
Dewa melihat betapa tebalnya buku itu dan ia hanya menelan ludah. Lagi-lagi ia tersenyum, “Maaf ya, Sayang. Udahlah,” Dewa mengambil buku itu dari genggaman Ara dan memasukkannya ke dalam tas kekasihnya. Dewa menarik tangan Ara untuk cepat berdiri, “Ayo, kamu langsung pulang kan?”
Mata Ara membelalak dan menghentakkan tangannya, “Pulang? Aku pulang? Kita kan mau makan seafood, De. Jangan bilang kamu LUPA lagi.” Ara memberi penekanan pada kata yang menjadi musuh besarnya itu.
Dewa menepuk jidatnya, “Aduh, gimana ya?”
“Apanya yang gimana?!”
“Aku ada latihan futsal sama anak-anak,” Dewa melirik jam tangannya, “setengah jam lagi.” tambahnya.
“…”
“Maaf, Ra. Aku bener-bener lupa. Tapi aku juga gak bisa batalin karena sebentar lagi tim futsal aku ada tanding besar lawan tim lain dari luar kota.” Dewa meraih tangan Ara, matanya mencoba membujuk hati Ara yang tengah memanas.
“Kamu tuh ya, lupa lupa lupa. Kalo ga jadwal latihan band, manggung, futsal, apalagi, hah?!” keduanya terdiam, “Ah ya satu lagi, GAME! Itu bikin kamu lupa sama aku, gitu?”
“Ra, gak gitu. Kamu kan tahu kalo itu hidup aku.”
“Terserah.” Ara lagi-lagi menghentak tangannya dan berjalan menjauh dari Dewa. Meninggalkan Dewa yang mulai membalikkan badan, menuju tempat futsal.
Ara memandang gulingnya dengan tatapan jahat-marah-menusuk. Matanya seakan sudah bersiap dengan pedang paling mematikan yang pernah ada. Ia memukul guling itu bertubi-tubi.
“Arrghh!” Ara mengatur nafasnya, “Kamu tahu gak sih, De? Sebenernya aku gak marah kalo kencan kita batal kayak tadi, itu udah biasa buat aku. Aku marah sama kegiatan kamu. Dari latihan band, manggung, futsal, sampe main game. Kamu juga kuliah, De.” Ara menatap gulingnya dengan sendu, pandangannya mulai terasa kabur, “Aku gak mau kamu kecapean. Kamu bilang kamu bisa jaga diri sendiri, tapi makan aja suka lupa, gimana kamu mau jaga diri kamu, De? Aku gak mau sampe kamu sakit.” Air mata mulai menetes, mengaliri pipi mulus Ara, “Aku cuma mau kamu istirahat.”
Ara menenggelamkan wajahnya pada guling yang ia pukuli tadi, menangis sesegukan. Ponselnya berdering. Ara menghapus air matanya sebelum mengangkat telepon yang masuk.
“Sayang?” sapa sebuah suara di ujung sana.
“Iya.”
“Kamu marah ya? Maafin aku, Ra.”
“Gak kok, aku gak marah sama kamu. Udah beres latihan futsalnya?”
“Ini baru beres, aku langsung telepon kamu malem-malem gini, maaf ya. Ngg, kamu abis nangis ya? Suara kamu – “
“Ah gak kok, tadi aku makan es krim kebanyakan jadi pilek gini.”
Dewa berkerut, “Es krim kebanyakan? Kamu kesel banget ya sama aku? Maaf.”
Ara memutar bola matanya, “Aih, susah banget sih dibilangin. Aku gak marah ataupun kesel sama kamu. Udah deh, aku tutup nih teleponnya.” ancaman memang selalu menguntungkan bagi Ara.
“Ah yayaya, jangan jangan.”
“Nyetak berapa gol kamu?” ujar Ara mencoba bersikap seolah tak ada apa-apa.
“Tebak dong, biasanya kan kamu jago mainin feeling.”
“Ngg,” Ara mengetuk-etukkan jarinya di dagu, “dua puluh tiga gol. Bener gak?”
“Hahaha ih ikan puffy-ku ini pinter banget sih nebaknya. Tapi kalo angka belakangnya diilangin hahaha – “
“Hah? Maksud kamu, kamu cuma nyetak dua gol? Kok bisa? Tumben, biasanya ikan asinku paling banyak nyetak gol. Kamu malu-maluin aku aja ih yang jadi pacar kamu.”
“Gimana mau nyetak gol kalo yang muter-muter di otak aku cuma muka kamu yang cemberut setengah mati hampir mau nyekek aku kayak tadi?”
“Oh jadi kamu khawatir aku marah sama kamu ya? Hahaha.”
“Jujur nih ya, sebenernya aku lebih mengkhawatirkan nyawa aku kalau tadi kamu beneran nyekek aku. Aku heran, perempuan sadis yang punya tatapan membakar kayak kamu kok banyak penggemarnya sih.” ujar Dewa tanpa nada bersalah.
Mata Ara kembali berapi-api, “Ya, Dewa! Kamu minta aku gebukin sampe mati ya? Kamu juga, aku bingung sama temen-temen kamu yang masih aja pertahanin kamu buat jadi salah satu bagian dari mereka. Kamu kan pelupa akut. Belum lagi fans-fans cewek East Sea yang kayaknya setengah waras karena sukarela neriakin nama kamu yang menurutku ga ada tampan-tampannya.”
“Kalau gitu, berarti kamu adalah satu-satunya perempuan yang GAK WARAS karena mau jadi pacar aku.”
“Dewa!” Skak mat, wajah Ara bersemu merah ditodong seperti itu.
***

you and me part 1

BRUKK~
Setumpuk kertas berdebum ringan bersentuhan dengan meja di depan seorang gadis yang tengah bertopang dagu menatap jalanan dari balik jendela di tempat duduknya. Chocoffee Whiskey beriak kecil di samping tumpukan kertas itu.
“Nih,” seorang laki-laki berkemeja kotak-kotak biru dengan lengan kemeja digulung hingga ke siku, terduduk lemas sembari mengatur nafasnya, duduk di sisi lain meja yang memisahkan mereka.
“Itu semua hasil ketikan aku yang isinya komen buat semua cerita fiksi sok-sok romantis kamu itu.” jelas laki-laki itu dengan mata terpejam.
Si gadis tersenyum lalu sebelah tangannya teracung, “Satu Milo Mint.” ucapnya setengah berteriak pada waitress yang berdiri di depan bar counter.
“Makasih ya udah mau repot-repot buat aku, Dewa sayang,” si gadis mengusap punggung tangan Dewa lembut. Dewa langsung terduduk tegap, matanya tersenyum, “Gak apa-apa. Selama aku masih bisa bantu kamu, kenapa gak, Ara-ku.”
Mereka saling melempar senyum sampai sang waitress muncul membawa nampan dengan satu gelas tinggi di atasnya. Dewa segera menyeruput minumannya, Ara tersenyum melihat wajah-kehausan-nyaris-dehidrasi kekasihnya.
Ara memang sering meminta Dewa untuk menuliskan komentar pada setiap cerita yang ditulisnya karena ia ingin Dewa tahu apa yang sebenarnya ada di pikirannya jika sedang bersama Dewa. Cerita sok romantis, begitu kata Dewa. Padahal itu adalah wujud keinginan Ara. Tapi Dewa tak pernah mengerti maksud terselubungnya.
“Akhir minggu ini kita makan seafood yuk!” Ara berujar dengan girang, sudah lama ia tak makan makanan laut.
“Aduh, kamu lupa sesuatu ya?” kata Dewa dengan kening berkerut.
“Ah tidak, aku tidak lupa kalau kamu ga suka seafood, tapi pasti ada satu dua menu berbau ayam. Ayolaaaah.” bujuk Ara.
“Ya ya ya, kita ke sana akhir minggu nanti.” jawab Dewa masam. Ponsel di sebelah gelas tinggi tiba-tiba berdering. Telepon masuk.
“Halo? Ah ya aku lupa. Sebentar lagi aku sampai.” Telepon ditutup, bersamaan dengan itu wajah Ara bertekuk.
“Latihan lagi?” suara Ara terdengar lirih dan enggan.
Dewa mengusap punggung tangan kekasihnya, “Maaf ya sayang, aku harus pergi. Sampai jumpa akhir minggu nanti.” Dewa pun pergi meninggalkan Ara yang kesal setengah mati.
Dewa sering seperti itu. Lupa jadwal sehingga sering mengganggu kencannya dengan Ara. Dewa yang seorang vokalis merangkap sebagai gitaris di sebuah band indie, East Sea, mengharuskannya latihan paling tidak dua kali dalam seminggu.
Keduanya menyadari mereka bukanlah pasangan yang seharusnya berpasangan karena mereka berdua terbilang pesibuk. Dewa sebagai personil band harus selalu latihan dan belum lagi manggung di berbagai tempat, tak jarang East Sea dapat panggilan dari luar kota. Dan Ara, dia penulis yang karya sudah diterima di kalangan remaja lokal. Menulis sebuah cerita memang tak membutuhkan banyak waktu di luar, tapi acara semacam bedah buku dan wawancara singkat sering memakan waktunya.
Mereka mencoba untuk saling pengertian.
Sedikit waktu yang kau miliki
Luangkanlah untukku harap secepatnya
Datangi aku
Ponsel Ara berdering dengan lantunan suara hatinya. Ia hanya melirik ponselnya yang tergeletak di samping laptop. Ia sedang malas untuk menerima telepon. Malam ini ia hanya ingin memandangi langit-langit rumahnya sembari memikirkan laki-laki yang mengganggu imajinasinya sampai jatuh tertidur.
Tapi ponselnya tak berhenti bordering, dengan malas ia bangun dari posisinya dan mengambil ponselnya. Sebelum ia berhasil menggapainya, ponselnya berhenti berdering.
Ara melihat siapa yang meneleponnya tengah malam begini. Di layar tertera “One Missed Call From IkanAsinBabo”
Ara melempar ponselnya ke atas ranjang dan merebahkan tubuhnya. Ponselnya bergetar.
Lagi-lagi dengan malas Ara meraih ponselnya.
From: IkanAsinBabo
Aku tahu kamu belum tidur. Kenapa ga diangkat? Kamu marah sama aku? Maaf u_u
Ara melempar ponselnya lagi. Ponselnya bergetar.
From: IkanAsinBabo
Jangan marah u_u
Ara tak bergeming.
From: IkanAsinBabo
Kamu mau denger aku main keys gak?
Aish, dasar bodoh. Aku bete gini mau dimainin keys? Mau bikin aku nangis tengah malem hah? Ara mengacak-acak rambutnya.
To: IkanAsinBabo
Kamu mau bikin aku nangis tengah malem gini? Udah tahu aku lagi bete sama kamu.

From: IkanAsinBabo
Jadi kamu ga mau denger? Yaah, padahal aku baru bisa mainin lagu ini pake keys. Kalo kamu mau denger, kamu bakal jadi orang pertama yang aku tunjukin. Tapi kamu ga mau, hmm telepon Sarah aja deh. Dia pasti mau dengerin aku. Yaudah sana tidur. Met malem, Sayang :*

To: IkanAsinBabo
Ah yayaya, aku mau denger.
Dewa tahu kalau Ara tidak akan mudah merelakan kekasihnya memainkan lagu untuk perempuan lain. Jurus ini selalu berhasil. Ponsel Ara kembali bordering, kali ini ia mengangkatnya. Sebelum ponselnya sampai menyentuh telinga, Ara menarik nafas pelan.
Baru ia membuka mulutnya untuk mengucapkan sebuah sapaan, sebuah dentingan tuts sudah terdengar. Tak lama, suara yang ia kenal memenuhi ruang telinganya.
Ku sadari kesalahan ini
Yang membuat segalanya telat jadinya
Oh kasihku
Ku harap kau mau
Memaafkan menerima pengakuanku
Jangan kau diam lagi
Ku tak sanggup menahan
Bicaralah oh sayang jiwa ini tak tenang
Ara membekap mulutnya dengan sebelah tangannya, menahan sebuah erangan keluar dari kerongkongannya. Tapi air matanya yang mewakili erangan itu.
Cinta jangan kau pergi
Tinggalkan diriku sendiri
Cinta jangan kau lari
Apalah arti hidup ini tanpa cinta dan kasih sayang
Suara Dewa menghilang, meninggalkan melodi keys mengalun sendirian dan mendadak terhenti. Ara tersadar dan cepat-cepat menghapus air matanya.
“Udah ah, jelek. Permainan keys aku ga bagus.” ujar Dewa di seberang sana.
“Engga kok, bagus. Aku suka. Makasih ya.” jawab Ara dengan tangan yang sibuk menyusut air mata dengan selimut yang dipegangnya.
“Engga, permainan aku jelek. Aku ga berbakat main keys.”
“Mau permainan keys kamu sejelek apapun, aku bakalan tetep ngasih tepuk tangan paling meriah buat kamu.”
Dewa tersenyum, “Makasih ya. Eh tapi kamu ga nangis kan?”
“Pertanyaan bodoh, nangislah.”
Senyum dewa hilang sekejap berganti dengan wajah bersalah, “Maaf, lain kali aku ga bakal nyanyi sambil mainin keys malem-malem buat kamu deh.”
“Ah gak, gak. Aku suka kok. Gak apa-apa.”
“Bener?”
“Bener ikan asinkuuuu.” nada manja mulai terdengar dari suara Ara.
“Baguslah kalau gitu ikan puffy-kuuuu. Udah hampir jam dua belas, mending kamu tidur gih. Besok ada acara bedah buku kan?”
“Iyaaa.” jawab Ara lemah semabri memelintir ujung sarung bantalnya.
“Yaudah sana tidur.”
“Kamu juga, tidur. Jangan main game terus. Aku gak suka.”
Dewa diam, Ara benar-benar tahu apa yang akan dilakukan kekasihnya setelah menutup telepon ini nanti, “Sebentar aja kok, ok ok? Udah deh sana kamu tidur. Malem, Sayang :*”
Ara mendesah pelan, “Ya, malem juga. Jangan main terlalu lama. Cepat tidur dan jangan bermimpi.”
***

Senin, 14 Februari 2011

galau --"

Tak bisakah Anda memperlakukan saya sebagai sahabat Anda? Ah tidak, itu terlalu berlebihan. Bagaimana jika sebagai teman? Bisa bukan?
Tolong perlakukan saya sebagai teman Anda, jangan perlakukan saya sebagai seseorang yang menyukai Anda, jangan lagi. Bantu saya untuk menganggap Anda sebagai teman saya mulai sekarang. Agar lebih mudah, itu saja.
Jika saya berusaha menganggap Anda sebagai teman saya tapi Anda masih memperlakukan saya sebagai seseorang yang menyukai Anda, bagaimana bisa saya melupakan Anda?
Mungkin Anda bertanya, "Mengapa tidak menghindar saja? Kedengarannya itu lebih mudah."
Ya, jangan meminta saya untuk menghindar dari Anda, itu terlalu menyakitkan bagi hati saya. Seseorang pernah berkata pada saya bahwa hati ada bukanlah untuk disakiti, maka saya tidak akan melakukannya.
Jadi, tolong bantu saya melakukan ini semua :)

Sabtu, 29 Januari 2011

Saranghaeyo, Oppa..

Lee Donghae. Ya, dia yang ada di otakku sekarang. Oh Donghae, kau meracuni otakku, tidak sopan, tidak  ijin dulu! Aku ga tau apa-apa tentang kamu, aku juga ga ngerti kenapa bisa suka sama kamu. Pokoknya pas aku liat kamu pertama kali aku langsung lemes. Ga ngerti deh kalo kamu ada di depan mata aku, aku bakal gimana. Kayaknya sih aku bakal speechless dan malah bengong-bengong bego ngeliatnya.
Lee Donghae, coba dengar aku dari sini ya, please..
Donghae-ya, kenapa kamu paling pendek dari member Super Junior yang lain? Benarkah alasan ketika kamu sudah lulus SD kamu tidak bertumbuh tinggi lagi? Padahal aku berharap kamu bisa memperbaiki keturunan kita nanti (astagfirullah, jauh amat mikirnya) aku sudah pendek, chagi..
Tapi gak apa-apa, mungkin itu yang akan membuat kita terlihat klop nanti, jadi pas bersanding aku gak akan terlalu jomplang sama kamu. Ya, pasti begitu maksud Tuhan. Ia sudah mencocokkan kita berdua, chagi..
Oh iya, Oppa kalo makan harus ditemani? Aku bersedia menemani Oppa makan, setiap hari! Aku tak ingin membuatmu tampak kurus karena tak makan. Aku akan memasakkanmu semua masakan yang kau suka karena aku tahu, kau tak bisa masak kan, Oppa? Ayo mengakulah padaku :D
Oppa, sepertinya nyaman di dekatmu. Memelukmu mungkin terasa menyenangkan, apalagi jika aku mendapat bonus sebuah ciuman darimu!
Oppa, saranghaeyo. Aku harap disana Oppa mendengarnya dan Oppa bilang " Nado saranghaeyo, chagiya.."

Senin, 24 Januari 2011

Senin, 17 Januari 2011

Eropa oh Eropa

seandainya suatu saat nanti Tuhan memang mengijinkan saya untuk menginjakkan kaki di tanah kemegahan, Eropa, beberapa hal yang ga akan pernah saya lupa untuk lakukan adalah :

1. sepatu leluhur saya harus diangkut, dia berhak mendapatkannya walau dia sudah bisa dikatakan renta. gimana ga, sepatu itu sudah menemani saya selama tiga taun lebih. sepatu itu sendiri sudah bolong-bolong (memang modelnya juga bolong-bolong sih) dan sobek sana-sini. pokoknya SEPATU LELUHUR HARUS IKUT NGINJEK TANAH EROPA!!
2. kalo saya ditakdirkan untuk sampai di Eropa saat musim salju, saya janji saya akan GUGULITIKAN di atas salju (tentunya dengan mempertimbangkan masalah cuaca). kapan lagi gugulitikan tanpa ada yang peduli dengan kita?
3. kalo tempat pertama yang saya singgahi adalah Prancis, saya akan JIJINGKRAKAN (dan mungkin menangis terharu sambil meluk-meluk orang *yang saya kenal tentunya*)
4. setiap tempat yang menarik atau biasa disebut wajib dikunjungi di Eropa, saya akan MENCORAT-CORET tempat tersebut dengan kedua nama teman saya seperti ini contohnya "Ani and Budi at here", ga boleh? ya jangan sampe ketahuan donggg hahaha saya hanya ingin mereka juga dapat merasakan apa yang sedang saya alami di sana.
5. FOTO-FOTO. selain karena temen saya ngebet saya tag-in foto jika saya tiba di sana terlebih dahulu dibanding dia (ini berlaku kebalikan, berarti saya juga ngebet ya?), ini adalah rutinitas wajib yang ga boleh ketinggalan ketika kita mau mengabadikan kenangan-kenangan indah. saya akan berfoto senarsis mungkin!

gimana? norak? biarin, toh gak ada yang kenal ini di sana mah hahhaaha